Tahun ini saya merayakan lebaran dengan istri, sebagai kepala keluarga, keluarga yang sangat kecil dengan istri saya sebagai anggotanya dan saya sebagai kepala sekaligus merangkap sebagai anggota. Sudah 26 kali saya merayakan lebaran, tapi sedikit sekali yang berkenang. Lebaran, begitu saya menyebutnya untuk Hari Raya Idul Fitri. Hal yang selalu terbayang bila kata lebaran disebut adalah budaya konsumtif masyarakat Indonesia, setidaknya dari pengalaman saya. Salah satu contoh yang dapat diambil untuk menunjukkan budaya konsumtif saat menjelang lebaran adalah belanja hal-hal yang serba baru khususnya pakaian, entah siapa yang memulai budaya tersebut. Tahun ini untuk pertama kalinya saya benar-benar kurang antusias untuk mengikuti budaya tersebut namun tetap terasa ada hal yang kurang lengkap bila belum memiliki pakaian baru. Sulit memang menghilangkan kebiasaan.
Akhirnya, demi memenuhi hal yang terasa kurang lengkap tadi saya memutuskan untuk membeli dua buah baju dan sepasang sandal. Legalah saya karena terasa lengkap untuk menyambut lebaran. Ada hal yang menarik saat saya membeli pakaian baru untuk lebaran tersebut, banyak pertokoan yang menawarkan potongan harga malah potongan harga besar-besaran atau bahkan bonus barang tertentu untuk membeli sejumlah barang tertentu. Pikir saya, apa istimewanya lebaran bagi pengusaha pertokoan tersebut? ah, mungkin saja mereka mau berbagi di penghujung bulan Ramadhan ini. Bisa juga karena pertokoan tersebut ingin menghabiskan stok barang dagangannya sehingga tidak mengapa untuk memberikan potongan harga besar, untung hanya sedikit yang penting laris. Atau saya bisa lebih skeptis lagi dengan menganggap saya telah dibujuk oleh pemilik pertokoan tersebut dengan iming-iming potongan harga yang besar padahal harga di hari-hari biasa pun harganya memang segitu, aji mumpung. Semoga saja kemungkinan pertama yang benar.
Read More..