Laman

Tampilkan postingan dengan label sepakbola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sepakbola. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Mei 2011

Konsekuensi Totalitas Messi dan Zanetti


Saya punya seorang teman yang sedang memiliki hobi baru, blogging. Luar biasanya teman saya ini, bila sedang tidak ada kegiatan lain bisa hampir 12 jam dia menghabiskan waktunya di depan komputer untuk blogging. Kemudian terbersit dalam pikiran saya untuk membuat sebuah tulisan kecil tentang totalitas. Totalitas kawan saya dan totalitas dua pemain sepakbola Argentina yang di akhir musim kompetisi meraih sukses gemilang, Lionel Messi dan Javier Zanetti.

Biarkan saya mulai dari Javier Zanetti yang bisa disebut sebagai pemain veteran berusia 37 tahun, saat ini masih menjadi andalan dan kapten tim Inter Milan dengan total penampilan memperkuat Inter Milan sebanyak lebih dari 500 pertandingan dalam 15 tahun karirnya di klub tersebut, luar biasanya Javier Zanetti yang akrab dengan julukan il capitano ini selalu menjadi pilihan utama starting eleven di tangan pelatih berbeda. Puncak prestasinya yaitu saat Inter Milan meraih gelar treble winner di bawah asuhan pelatih bertangan dingin Jose Mourinho, Javier meraih gelar Liga Champion Eropa, Scudetto, dan Coppa Italia. Setahun berikutnya, Inter Milan yang ditinggalkan oleh Jose Mourinho mengalami penurunan prestasi hanya mampu mempertahankan gelar Coppa Italianya.Gelar itu pun tak lepas dari peran penting seorang Javier Zanetti melalui totalitasnya untuk Inter Milan. Totalitas Javier menurut saya dapat dilihat melalui cara bermainnya yang sangat memiliki visi dalam bertahan maupun menyerang, selain itu loyalitas pengabdiannya kepada Inter Milan pun dapat saya katakan sebagai wujud totalitas. "Inter adalah Tim Juara" hal tersebutlah yang dikatakan oleh seorang Javier saat timnya meraih gelar Coppa Italia 2011.

Lain Zanetti lain Messi, totalitas seorang Javier mudah terlihat karena kematangan usianya. Lalu dari segi apa saya katakan bila Messi memiliki totalitas untuk sebuah permainan sepakbola. usianya masih muda, 23 tahun. Cukup mudah dilihat, prestasinya saja sudah cukup membuktikan bahwa Messi benar-benar total dalam kariernya di sepakbola, 2 kali menjadi pemain terbaik dunia, 3 kali meraih gelar Liga Champions Eropa, dan masih banyak yang lainnya. Dari gaya permainannya pun Lionel Messi menunjukkan totalitasnya untuk tidak menyerahkan bola kepada lawan-lawannya, setipe dengan seniornya Javier Zanetti. " Barca ingin terus meraih kemenangan karena Kami tak akan puas sebelum meraih juara" Ungkap Messi setelah meraih gelar Liga Champions.

Bedanya Messi dan Zanetti dengan teman saya yang hobi blogging tersebut hanyalah pencapaiannya. Semoga teman saya tetap berkomitmen menjaga totalitasnya untuk kemudian menerima konsekuensi pencapaian prestasi yang luar biasa. Semoga...
Read More..

Rabu, 25 Mei 2011

Seharusnya Mourinho, Seharusnya Karanka, Seharusnya Madrid, Seharusnya...


Kata 'seharusnya' mungkin saat ini menjadi layaknya hantu yang terus menggentayangi entrenador Real Madrid, Jose Mourinho dan asistennya Aitor Karanka. Berikut ini merupakan pernyataan yang disampaikan oleh Jose Mourinho yang saya kutip dari vivanews.com "Kami akan kembali pada 11 Juli dengan hasrat yang sama dan motivasi yang sama untuk selalu mencoba menghargai prestise dan sejarah mengagumkan Real Madrid. Akhirnya, saya ingin mengakhiri dengan harapan yang sangat sederhana, dimana musim yang akan datang kami akan bangkit dengan prinsip-prinsip di mana tak seorangpun akan melupakan."

"Bicara fair-play, respek kepada lawan Anda dan kartu merah untuk rasis semoga tidak hanya menjadi kata-kata. Mereka harus menjadikan kenyataan. Saya ulang, saya punya harapan musim depan kami dapat bangkit dari olahraga kita dengan memulihkan prinsip-prinsip fundamental itu," tegas Mourinho lagi. Pernyataan mengenai kartu merah untuk rasis itu tampak dialamatkan Mou untuk Sergio Busquets yang menyerang Marcelo dengan kata-kata rasis saat laga Madrid kontra Barca di semifinal Liga Champions Eropa. Di lain kesempatan Aitor Karanka selaku asisten dari Jose Mourinho pun melayangkan pernyataan yang mengindikasikan kata-kata seharusnya. Berikut ini pernyataan Karanka yang saya kutip langsung dari goal.com “Untuk menangani gaya bermain Barcelona, kami merencanakan dua gim berbeda. Kami memikirkannya demi hasil terbaik,” ujar Karanka kepada DT.

“Saya yakin bila semuanya berjalan normal, kamilah yang akan mencapai final Liga Champions,” tambahnya. Pernyataan kedua otak strategi Madrid tersebut memang sekilas tampak mengesankan bahwa merekalah pihak yang dirugikan dalam laga semifinal Liga Champions dan tidak seharusnya mereka tersingkir. Dan tidak seharusnya Barcelona yang lolos ke final.

Bicara soal prinsip fundamental yang dikatakan oleh Mourinho mungkin yang dimaksud olehnya adalah soal meraih kemenangan dengan cara-cara terhormat yang sesuai dengan prinsip Fair Play atau bermain dengan adil. Kalau memang itu yang dibicarakan, marilah sejenak kita menoleh ke belakang saat Mou memberikan instruksi agar Xabi Alonso dan Sergio Ramos sengaja mendapatkan kartu merah agar dapat beristirahat dan akumulasi kartu kuning keduanya hilang pada babak knock out,apakah itu yang disebut fair dan sesuai dengan prinsip fundamental sepakbola? ah Saya meragukannya. Lalu bicara mengenai Aitor Karanka tentang hal yang berjalan normal, memangnya apa yang tidak normal dari laga semifinal pada saat itu ? Peluit ditiup oleh wasit untuk memulai dan mengakhiri pertandingan, normal bukan? Soal ada pihak yang dirugikan atau lebih dirugikan wajar dalam sepakbola. Bukankah lebih terhormat untuk mengakui kekalahan tanpa mencari-cari kesalahan pihak yang menang?
Subjektifkah tulisan ini? Saya rasa tidak sama sekali. Saya tidak mengenal kedua pribadi yang saya tuliskan, justru mengagumi prestasi keduanya dan cara mereka meraihnya dengan kerja keras. Namun ada hal-hal yang prinsip dan fundamental saat seseorang belum dapat mencapai keinginannya, introspeksi diri dan tidak menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Mohon maaf bila ada kurang berkenan.
Read More..

Minggu, 23 Januari 2011

Hasil Kongres Ke-II PSSI 2011


Kongres ke-II PSSI yang diselenggarakan di Ballroom Hotel Pan Pacific, Tabanan, Bali akhirnya resmi ditutup pada Sabtu (22/01) sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Kongres tersebut secara resmi langsung ditutup oleh Nurdin Halid selaku Ketua Umum PSSI.
Agenda utama dari Kongres ke-II PSSI adalah pengesahan laporan Ketua Umum PSSI, anggaran tahun 2010, pengesahan rencana tahun 2011, termasuk anggaran untuk kegiatan di tahun 2011. Beberapa keputusan lainnya adalah:
1. Pengesahan pemecatan klub Persema Malang dan Persibo Bojonegoro yang telah mengundurkan diri dari ISL dan bergabung dengan Liga Primer Indonesia (LPI)

2. Memberikan sanksi kepada PSM Makassar yang mengundurkan dari dari ISL ke LPI yaitu turun ke kompetisi Divisi I. Sanksi ini bisa berubah menjadi pemecatan, hanya saja sanksi akan diberikan pada kongres berikutnya. Pemecatan akan berlaku jika PSM tetap menjalani pertandingan LPI dan telah menggunakan hak pembelaannya di kongres

3. Pemberian sanksi oleh FIFA kepada tiga klub yaitu Persma Manado, Gaspa Palopo dan Persegi Gianyar

4. Kongres menetapkan 23 calon anggota baru PSSI yaitu Lhokseumawe FC, Pidie Jaya, PS Solsel, Tabir FC, PSSL, Porkab Koba, Cilegon Mandiri, Sultan Muda FC, Bandung Barat FC, Blaster FC, Petro Jabrix FC, Maung Bandung FC, Bina Putra FC, PS Tunas Yogya, Gresik Putra, Barabai FC, Persikat Katingan, Persibilmut, Persikokot, Nusaina FC, Persindung, Persidei, Persiyali

Hal-hal lain yang disepakati dalam kongres ini adalah menyetujui Pelatnas jangka panjang bagi Timnas U-23 yang akan berlaga di Sea Games 2011, menyerahkan kembali 99 persen saham PT. Liga Indonesia yang saat ini dikuasai oleh PSSI kepada seluruh klub peserta LSI mulai tahun 2011 dan menargetkan pada tahun 2014 nanti klub peserta LSI akan bebas dari penggunaan APBD. Dalam kongres ini juga Exco PSSI menetapkan Kongres pemilihan Ketua Umum PSSI akan diselenggarakan pada 19 Maret 2011 di Bintan, Kepulauan Riau.

sumber: http://www.pssi-football.com/id/view_news_111082.php?id=3288
Read More..

Minggu, 02 Januari 2011

Liga Primer Indonesia


Liga Primer Indonesia adalah kompetisi yang diikuti 19 tim sepakbola profesional di Indonesia. Liga Primer Indonesia diselenggarakan oleh PT. LPI dengan chairman Arifin Panigoro. Liga ini belum mendapat persetujuan dari PSSI, sehingga penyelenggaraannya dianggap sebagai liga tandingan LSI yang sudah bergulir sebelumnya. Sedianya kompetisi LPI akan digelar pada 8 Januari mendatang, pada peluncuran kompetisi di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (22/12). Arifin Panigoro selaku chairman PT. LPI mengatakan bahwa, "Ada tiga pilar penting untuk mengembangkan sepakbola Indonesia, yakni kompetisi yang mengedepankan good governance, pembinaan usia dini, serta pendekatan ilmiah." Nada penolakan sangat jelas terdengar dari pihak PSSI, melalui Ketua Umumnya, Nurdin Halid menegaskan bahwa tidak akan mengijinkan LPI digelar karena PSSI sudah memiliki LSI dan dalam statuta FIFA dijelaskan bahwa kompetisi yang berlangsung di Indonesia harus berafiliasi dengan PSSI.

Nugraha Besoes selaku Sekjen PSSI juga menyatakan penolakannya, menurutnya AFC dan FIFA tidak akan menerima adanya LPI. Namun, Kesit B Handoyo sebagai salah satu anggota tim perumus LPI menyatakan bahwa pembentukan LPI bukan tanpa perhitungan, mereka telah memberitahukan struktur kepengurusan LPI kepada Presiden, Menpora, KONI, PSSI, AFC, AFC Pro League Committe, dan tentu saja FIFA. Berikut ini merupakan 19 tim yang mengikuti Liga Primer Indonesia:

1. Aceh United
Pelatih: Lionel Charbonnier (Prancis)
Stadion: Harapan Bangsa, Banda Aceh (kapasitas 40.000)

2. Bali De Vata
Pelatih: Willy Scheepers (Belanda)
Stadion: Kapten I Wayan Dipta, Gianyar (kapasitas 25.000)

3. Bandung FC
Pelatih: Nandar Iskandar
Stadion: Siliwangi, Bandung (kapasitas 25.000)

4. Batavia Union
Pelatih: Roberto Bianchi (Brasil)
Stadion: Tugu, Jakarta (Kapasitas 20.000)

5. Bogor Raya
Pelatih: John Arwandy
Stadion: Persikabo, Bogor (kapasitas 15.000) dan Pajajaran, Bogor (kapasitas 12.000)

6. Cendrawasih Papua
Pelatih: Uwe Erkebrecher (Jerman)
Stadion: Mandala, Jayapura (kapasitas 30.000)

7. Jakarta 1928
Pelatih: Bambang Nurdiansyah
Stadion: Lebak Bulus (kapasitas 25.000)

8. Kabau Padang
Pelatih: Divaldo Alves (Portugal)
Stadion: Agus Salim, Padang (kapasitas 28.000)

9. Ksatria XI Solo
Pelatih: Branko Babic (Serbia)
Stadion: Manahan, Solo (kapasitas 24.000)

10. Makassar City
Pelatih: Michael Feichtenbeiner (Jerman)
Stadion: Andi Mattalata, Makassar (kapasitas 20.000)

11. Manado United
Pelatih: Muhammad Al Hadad
Stadion: Klabat, Manado (kapasitas 20.000)

12. Medan Bintang
Pelatih: Rene Van Eck (Belanda)
Stadion: Teladan, Medan (kapasitas 20.000)

13. Medan Chiefs
Pelatih: Jorg Steinebruner (Jerman)
Stadion: Teladan, Medan (kapasitas 20.000)

14. Persebaya
Pelatih: Aji Santoso
Stadion: Gelora 10 Nopember, Tambaksari, Surabaya (kapasitas 35.000)

15. Persema
Pelatih: Timo Scheuneman (Jerman)
Stadion: Gajayana, Malang (kapasitas 30.000)

16. Persibo
Pelatih: Sartono Anwar
Stadion: Letjen Haji Sudirman, Bojonegoro (kapasitas 15.000)

17. Real Mataram
Pelatih: Jose Basualdo (Argentina)
Stadion: Maguwoharjo, Yogyakarta (kapasitas 30.000)

18. Semarang United
Pelatih: Edy Paryono
Stadion: Jatidiri, Semarang (kapasitas 25.000)

19. Tangerang Wolves
Pelatih: Paulo Camargo (Brasil)
Stadion: Benteng (kapasitas 25.000)

semoga LPI tidak menjadi pemecah belah sepakbola Indonesia. Bravo Sepakbola Indonesia.
Read More..

Rabu, 29 Desember 2010

Opini: Antiklimaks Tim Nasional


Semula ingin menerbitkan tulisan yang berjudul Kolom: Antiklimaks Tim Nasional. Namun niat tersebut urung dilakukan karena Penulis belum punya cukup keberanian untuk membuat sebuah tulisan seperti itu walaupun di halaman blog pribadi, penyebab yang lain adalah paradigma Penulis sendiri tentang sebuah kolom, yang sering Penulis lihat, kolom merupakan beberapa bagian dari suatu halaman media tertulis yang diisi oleh tulisan orang-orang dengan kapabilitas, kredibilitas atau mungkin tingkat kepakaran yang tidak diragukan lagi oleh orang banyak. Oleh karena itu, di sini Penulis hanya akan menerbitkan tulisan yang berjudul Opini: Antiklimaks Tim Nasional. Sesuai dengan judulnya tulisan ini hanya berisi opini yang kebenarannya belum teruji, selain itu bahasannya pun hanya sekedar di permukaan alias tidak mendalam.

Garuda Di Dadaku menjadi jargon yang cukup menggetarkan nasionalisme setiap warga negara Indonesia selama beberapa hari ini, fenomena tersebut muncul karena adanya Piala AFF. Di turnamen tersebut lagi-lagi Indonesia masuk hingga babak Final. Untuk yang keempat kalinya. Sepanjang pengamatan Penulis dari keikutsertaan Tim Nasional pada Piala AFF terdahulu, ada hal berbeda yang dirasakan. Pertama tentu saja dari komposisi Tim dari pelatih hingga pemain, yang kedua adanya dua orang pemain naturalisasi alias tidak asli berdarah Indonesia di dalam Tim Nasional. Hal ketiga dan yang paling mengherankan adalah pemberitaan yang terlalu dibesar-besarkan atas keberhasilan Tim Nasional untuk menembus ke babak Final.

Seperti yang telah pembaca ketahui, hasil akhir dari Final Piala AFF 2010 tersebut adalah 4-2 keunggulan aggregat Malaysia atas Indonesia, untuk keempat kalinya Indonesia menjadi Runner Up turnamen yang sama. Alfred Riedl, Pelatih Tim Nasional sama sekali tidak menyoroti masalah teknis tentang kekalahan tim asuhannya, hanya saja Dia sudah menegaskan dari awal bahwa pemberitaan yang berlebihan terhadap Tim Nasional jelas akan mempengaruhi penampilan mereka saat bertanding, mempengaruhi di sini dapat kita artikan sebagai mengganggu. Ada yang bilang Tim Nasional kali ini dipolititisir oleh banyak pihak. Mungkin saja dan memang kelihatannya seperti itu.

Prestasi tak dapat diraih namun malang dapat ditolak. Mungkin itu pepatah yang cukup tepat untuk mendeskripsikan PSSI selepas penyelenggaraan Piala AFF 2010, setelah gagal meraih juara dan hanya mendapatkan gelar runner up untuk keempat kalinya. Padahal untuk coba meraih gelar juara PSSI sudah menambahkan amunisi instan seperti Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales.Tapi masih gagal. Namun malang dapat ditolak? Kenapa? Secara kasat mata, penjualan tiket untuk semifinal dan final Piala AFF jumlahnya tentu saja sangat besar dan mendatangkan keuntungan bagi PSSI walaupun pengelolaannya yang dilakukan sendiri oleh PSSI tanpa menunjuk pihak ketiga yang profesional, berlangsung kacau balau. Menanggapi pengelolaan tiket ini, Budiarto Sambasy selaku pengamat mengatakan, " PSSI organisasi yang tidak mau belajar".

Terlepas dari gagalnya Tim Nasional meraih gelar juara Piala AFF untuk pertama kalinya dan kekisruhan dalam pengelolaan tiket yang tidak profesional tetap saja jargon Garuda Di Dadaku masih menggetarkan jiwa pendukung Tim Nasional yang belum terpuaskan dahaganya dengan hanya melihat tim kebanggaannya mengangkat piala dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tentu saja setelah pertandingan berakhir.
Bravo Sepakbola Indonesia.

Read More..