Laman

Rabu, 29 Desember 2010

Opini: Antiklimaks Tim Nasional


Semula ingin menerbitkan tulisan yang berjudul Kolom: Antiklimaks Tim Nasional. Namun niat tersebut urung dilakukan karena Penulis belum punya cukup keberanian untuk membuat sebuah tulisan seperti itu walaupun di halaman blog pribadi, penyebab yang lain adalah paradigma Penulis sendiri tentang sebuah kolom, yang sering Penulis lihat, kolom merupakan beberapa bagian dari suatu halaman media tertulis yang diisi oleh tulisan orang-orang dengan kapabilitas, kredibilitas atau mungkin tingkat kepakaran yang tidak diragukan lagi oleh orang banyak. Oleh karena itu, di sini Penulis hanya akan menerbitkan tulisan yang berjudul Opini: Antiklimaks Tim Nasional. Sesuai dengan judulnya tulisan ini hanya berisi opini yang kebenarannya belum teruji, selain itu bahasannya pun hanya sekedar di permukaan alias tidak mendalam.

Garuda Di Dadaku menjadi jargon yang cukup menggetarkan nasionalisme setiap warga negara Indonesia selama beberapa hari ini, fenomena tersebut muncul karena adanya Piala AFF. Di turnamen tersebut lagi-lagi Indonesia masuk hingga babak Final. Untuk yang keempat kalinya. Sepanjang pengamatan Penulis dari keikutsertaan Tim Nasional pada Piala AFF terdahulu, ada hal berbeda yang dirasakan. Pertama tentu saja dari komposisi Tim dari pelatih hingga pemain, yang kedua adanya dua orang pemain naturalisasi alias tidak asli berdarah Indonesia di dalam Tim Nasional. Hal ketiga dan yang paling mengherankan adalah pemberitaan yang terlalu dibesar-besarkan atas keberhasilan Tim Nasional untuk menembus ke babak Final.

Seperti yang telah pembaca ketahui, hasil akhir dari Final Piala AFF 2010 tersebut adalah 4-2 keunggulan aggregat Malaysia atas Indonesia, untuk keempat kalinya Indonesia menjadi Runner Up turnamen yang sama. Alfred Riedl, Pelatih Tim Nasional sama sekali tidak menyoroti masalah teknis tentang kekalahan tim asuhannya, hanya saja Dia sudah menegaskan dari awal bahwa pemberitaan yang berlebihan terhadap Tim Nasional jelas akan mempengaruhi penampilan mereka saat bertanding, mempengaruhi di sini dapat kita artikan sebagai mengganggu. Ada yang bilang Tim Nasional kali ini dipolititisir oleh banyak pihak. Mungkin saja dan memang kelihatannya seperti itu.

Prestasi tak dapat diraih namun malang dapat ditolak. Mungkin itu pepatah yang cukup tepat untuk mendeskripsikan PSSI selepas penyelenggaraan Piala AFF 2010, setelah gagal meraih juara dan hanya mendapatkan gelar runner up untuk keempat kalinya. Padahal untuk coba meraih gelar juara PSSI sudah menambahkan amunisi instan seperti Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales.Tapi masih gagal. Namun malang dapat ditolak? Kenapa? Secara kasat mata, penjualan tiket untuk semifinal dan final Piala AFF jumlahnya tentu saja sangat besar dan mendatangkan keuntungan bagi PSSI walaupun pengelolaannya yang dilakukan sendiri oleh PSSI tanpa menunjuk pihak ketiga yang profesional, berlangsung kacau balau. Menanggapi pengelolaan tiket ini, Budiarto Sambasy selaku pengamat mengatakan, " PSSI organisasi yang tidak mau belajar".

Terlepas dari gagalnya Tim Nasional meraih gelar juara Piala AFF untuk pertama kalinya dan kekisruhan dalam pengelolaan tiket yang tidak profesional tetap saja jargon Garuda Di Dadaku masih menggetarkan jiwa pendukung Tim Nasional yang belum terpuaskan dahaganya dengan hanya melihat tim kebanggaannya mengangkat piala dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tentu saja setelah pertandingan berakhir.
Bravo Sepakbola Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar